Sunday, July 30, 2017

Golongan yang berhak menerima zakat


إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana(al-Taubah:60)

Pendahuluan

al-Syaukani dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan إِنَّمَا adalah bentuk qashr (pembatasan) dan al pada الصَّدَقَاتُ adalah lil jinsi (menunjukkan jenis), yaitu bahwa jenis sedekah ini (zakat) terbatas atas delapan asnaf yang telah disebutkan dalam ayat ini, tidak boleh distribusinya melampaui delapan asnaf ini, bahkan zakat itu hanya untuk mereka bukan untuk yang lainnya[1]begitu juga menurut para mufasir sebelum al-Syaukani seperti seperti al-Zamakhsyari[2], Ibn Atiyyah[3], dan al-Razi[4] dan lain-lain. Begitu juga mufasir setelah al-Syaukani seperti al-Sa’di[5], Abu Bakar al-Jazair[6], Ali al-Shabuni[7] dan yang lainnya bahwa zakat itu hanya untuk delapan asnaf, tidak boleh didistribusikan kepada selain 8 ashnaf tersebut.
Oleh karena itu tidak halal (haram) bagi orang yang bukan termasuk mustahiq zakat mengambil zakat padahal ia tahu bahwa itu adalah zakat, jika ia mengambilnya kemudian tidak mengembalikannya maka tidak akan menjadi baik baginya, akan tetapi hendaklah ia mengembalikannya atau mensedekahkannya, karena baginya adalah haram[8]

Tafsir 8 Asnaf Zakat

Berikut adalah pengertian 8 asnaf zakat menurut Wahbah az-Zuhaili
1)      Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha untuk menutupi kebutuhannya
2)      Miskin orang yang memiliki pekerjaan atau penghasilan namun kurang dari / tidak mencukupi kebutuhannya
3)      ‘Amil adalah orang yang bekerja dan pengumpul yang diutus oleh pemimpin untuk mengumpulkan zakat, mereka diberi seukuran kebutuhan mereka sebagai upah atas pekerjaan mereka, mereka diberi zakat walaupun orang kaya[9]
4)      Muallafatu qulubuhum, yaitu non muslim yang dibujuk hatinya supaya masuk Islam, atau yang baru masuk Islam akan tetapi niyat dan keyakinannya masih lemah dan memiliki ketetapan hati dalam bidang agama, mereka diberi zakat untuk menetapkan dan menguatkan keislaman dan ketetapan hati mereka. Atau mereka adalah orang mulia di sisi kaumnya diharapkan dengan diberikan zakat kepada mereka pengikutnya tertarik pada Islam.
5)      Hamba sahaya atau hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya untuk dibebaskan jika mereka membayar uang pembebesan mereka. Sekarang keberadaan mereka tidak ada berdasarkan kesepakatan dunia pada tahun 1952 atas berakhirnya perbudakan
6)      Gharim yaitu orang yang terikat dengan utang dan mereka tidak memiliki sesuatupun untuk melunasi utang mereka, atau orang yang meminjam uang untuk mendamaikan dua kelompok yang berseteru
7)      Fisabilillah, yaitu para mujahid yang tidak mendapatkan hak/upah dari departemen militer, mereka diberi zakat walaupun kaya untuk menyemangati mereka dalam berjihad
8)      Ibn Sabil yaitu, musafir yang kehabisan bekal dipertengahan jalan atau musafir yang ingin safar untuk keta’atan bukan kemaksiyatan namun tidak mampu untuk mencapai maksudnya kecuali kalau ada bantuan[10]

Apakah fisabilillah itu hanya Mujahid yang berperang dan menjaga perbatasan saja?

Wahbah az-Zuhaili sebagaimana disebutkan di atas bahwa fi sabilillah itu hanya yang berjihad/berperang saja di jalan Allah yang tidak mendapatkan santunan dari negara, begitu juga menurut Abu Bakar al-Jazair, Ali al-Shabuni, dan al-Syaukani. Begitu juga mufasir klasik seperti al-Baghawi, Ibn Katsir dan al-Mawardi.
Al-Syaukani dan ‘Ali al-Shabuni mengatakan yang dimaksud fi sabilillah adalah orang yang berperang dan murabitun (orang yang tetap berada diperbatasan musuh). Kemudian al-Syaukani mengataka ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Al-Sa’di mengatakan bahwa yang dimaksud fi sabilillah adalah orang yang berperang yang tidak memiliki departemen (santunan, pen). Lalu ia juga mengatakan kebanyakan fukaha mengatakan bahwa jika orang yang mampu, mendedikasikan dan membaktikan dirinya untuk mencari ilmu diberikan kepadanya zakat, karena ilmu itu  termasuk jihad fisabilillah.
Ada juga yang mengatakan boleh juga orang fakir untuk melaksanakan hajinya (pendapat ini perlu diteliti).
Al-Razi mengatakan fi sabilillah, para mufasir mengatakan yang dimaksud adalah orang yang berperang di jalan Allah. Kemudian beliau mengatakan bahwa dzahirnya lafadz fi sabilillah tidak mengharuskan hanya perang, untuk makna ini al-Qaffal dalam tafsirnya menukil pendapat sebagian fukaha bahwa mereka membolehkan distribusi zakat pada semua kebaikan berupa untuk mengkapani orang yang mati, membangun bangunan, dan memakurkan mesjid.
Muhammad Rasyid Ridho menagtakan semua mazhab sepakat bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah yang berperang dan menjaga perbatasan. Kemudian beliau mengatakan yang benar sabilillah adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang dengannya tegak urusan agama dan negara bukan individu, haji individu bukanlah bagian darinya karena itu kewajiban bagi individu yang mampu[11]
Al-Maraghi salah seorang mufasir kontemporer dari Mesir mengatakan yang benar bahwa yang dimaksud dengan sabilillah adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang dengannya tegak urusan agama dan negara bukan individu seperti keamanan jalan untuk haji, menjaga air dan makanan. Haji individu bukanlah bagian darinya karena itu kewajiban bagi individu yang mampu [12]
Hisamuddin mengatakan fi sabilillah para ulama berbeda pendapat, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
  1. fisabilillah adalah jalan kebaikan (kemaslahatan umum yang dengannya tegak urusan agama dan negara bukan individu, dengan disandarkan kepada mujahid dan murabith seperti membangun rumah sakit, tempat perlindungan, sekolah agama, pesantren Islam, perpustakaan umum,dan bantuan yayasan sosial.
  2. Diantara mereka juga ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah adalah yang mujahid/berperang saja.
  3. Di antara mereka ada yang berpendapat pembiayaaan sabilillah adalah jihad, umrah dan haji.
Menurutnya pendapat pertama yang lebih kuat. Dengan alasan:
Pertama. Tidak ada nash yang tegas baik dari kitabullah maupun sunnah rasul-Nya yang melarang apakah didistribusikan kepada kemaslahatan umum atau jihad saja
Kedua, sah dari Rasulullh saw. bahwa beliau memberikan diyat kepada seseorang anshar yang membunuh pada Khaibar 100 ekor unta sebagai shadaqah (zakat). HR. Bukhari dan Muslim. Ini adalah untuk kemaslahatan diantara orang-orang dan ini termasuk kemaslahatan umum.
Ketiga, kalau memperhatikan ayat dibatasi pendistribusian 8 ashnaf zakat, didapati ada perbedaan. Fukara, masakin, ‘amilin dan muallafatu qulubuhum di awali dengan lam. Sedangkan yang lain dengan fi. Lam memiliki faedah memiiliki sedangkan fi memiliki faedah الوعاء. oleh karena itu empat ashnaf yang pertama adalah yang memiliki zakat, sedangkan yang lain adalah yang pantas menerima zakat, maka didistribusikan zakat supaya tercapai kemaslahatan, kemanfa’atan mereka dan tidak datang kemaslahatan umum kecuali karena ini
Keempat, menyangka sebagian ulama kontemporer bahwa ibarat fisabilillah apabila digabungkan dengan infak maknanya adalah jihad saja. Prasangka ini tdak benar dan tidak bisa diterima. Banyak ayat yang berbicara jihad dikaitkan dengan infak menunjukkan bukan jihad saja seperti QS. al-Taubah:34, al-Baqarah: 261, dan 262.
Kesimpulannya boleh mendistribusikan zakat untuk kepentingan umum kaum muslimin namun mesti cermat, verifikasi, penelitian yang dalam sebelum didistibusikan sehingga tercapai pendistribusiannya untuk kemaslaahtan kaum muslimin[13]

Bolehkah pelajar/pencari ilmu diberi zakat?

Sebagaimana diketahui bahwa pendistribusian zakat berdasarkan nashnya dalam QS. al-Taubah: 60 yaitu ada delapan ashnaf.
Yang disepakati di antara ahlul ilmi bahwa penuntut ilmu jika ia fakir maka diberi zakat karena fakirnya. Diantara Ulama ada yang berpendapat bahwa penuntut ilmu diberi zakat karena dia penuntut ilmu walaupun ia mampu untuk bekerja, yaitu apabila ia membaktikan dan mendedikasikan dirinya untuk mencari ilmu.
Di antara mereka ada yang membolehkan penuntut ilmu diberi zakat dengan pertimbangan masuk kepada ashnaf fi sabilillah. Hal ini karena luasnya pembiayaan fi sabilillah. Ini adalah pendapat yang bagus namun tidak boleh secara umum/bebas, mesti ada kriteria tertentu yang masuk dalam kritreria pembiayaan fi sabilillah.
Shiddiq Khan mengatakan yang termasuk fisabilillah adalah para ulama yang menegakkan kemaslahatan keagamaan kaum muslimin.
Al-Qardhawi mengatakan orang yang mendedikasikan dan membaktikan dirinya untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dan sulit menggabungkan usaha dan menuntut ilmu maka diberikan kepadanya zakat untuk membantunya.
Berdasarkan pandangan-pandangan para ulama yang membolehkan zakat bagi pelajar, hisamuddin mengatakan boleh memberikan zakat kepada pelajar dengan bentuk yang umum (karena fakir, gharim, pen) dan bentuk khusus, yaitu kepada orang yang cerdik, pandai.  [14]

Fatwa MUI Zakat untuk pendidikan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pemberian zakat untuk beasiswa
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia setelah memperhatikan :
1. Penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prod. DR. lug. Wardiman Djojonegoro dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia K.H. Hasan Basri pada hari Kamis tangga1 25 Januari 1996.
2. Rapat Pimpinan Harian Majelis Ulama Indonesia tanggal13 Februari 1996.Mengingat :
1. Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah SAW.
2.Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga, serta Program Kerja Majelis Ulama lndonesia 1995 – 2000.Dengan bertawaqal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan :Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pemberian zakat untuk beasiswa sebagaimana terlampir pada Surat Keputusan Fatwa ini :LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN ULAMA INDONESIA
Tentang Pemberian Zakat Untuk Beasiswa Nombor : Kep.-120/MUI/II/1996 :Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dengan ini menyampaikan bahwa pada hari Sabtu tanggal 20 Ramadhan 1416Hijriah, bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1996 Miladiyah, dilanjutkan pada hari Rabu 24 Ramadhan 1416 Hijriah, bertepatan tangga1 14 Februari 1996 Miladiyah, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah bersidang untuk membahas pemberian zakat untuk beasiswa, yaitu :“Bagaimana hukum pemberian zakat untuk keperluan pendidikan, khususnya pemberian beasiswa.
”Sehubungan dengan masalah tersebut Sidang merurnuskan sebagai berikut :Memberikan uang zakat untuk keperluan pendidikan, khususnya dalam bentuk beasiswa, hukurnnya adalah SAH, karena termasuk dalam asnaf fi sabilillah, yaitu bantuan yang dikeluarkan dari dana zakat berdasarkan AI-Qur’an surat At- Taubah ayat 60 dengan alasan bahwa pengertian fi sabilillah menurut sebagian ulama fiqh dari beberapa mazhab dan ulama tafsir adalahnya “lafaznya umum”.
Oleh karena itu, berlakulah qaidah usuliyah : YABQOL ‘UMUUMU ‘ALAA ‘UMUUMIHI.
Sidang memberikan pertimbangan bahwa pelajar/ mahasiswa/ sarjana muslim, penerima zakat beasiswa, hendaknya :
Berprestasi akademik.· Diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.·
Mempelajari ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia
Ketua Umum : K.B. HASAN BASRI
Sekretaris : DRS. H.A. NAZRI ADLANI
Ditetapkan di : Jakarta , Indonesia.
29 Ramadhan 1416H – 19 Februari 1996M

Bolehkah pengangguran menerima zakat?

Asalnya bahwa zakat itu didistribusikan kepada delapan ashnaf, orang yang kaya dan sanggup berusaha maka tidak boleh zakat didistribusikan zakat kepadanya berdasarkan sabda Nabi saw.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Tidak halal zakat bagi orang kaya dan orang yang kuat dan sehat badan.” (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi)
yang dimaksud لِذِي مِرَّةٍ سَوِيّ adalah orang yang kuat anggota badannya tidak cacat yang mampu bekerja. Yang difahami dari nash syara’ yang dimaksud adalah orang yang mampu bekerja dan mendapatkan pekerjaan, adapun orang yang jalan usahanya terhalangi dan tidak mendapatkan pekerjaan maka ia boleh menerima zakat walaupun ia kuat mampu untuk berusaha namun ia tidak mendapatkan jalan untuk bekerja. Imam al-Nawawi mengatakan berkata sahabat-sahabat kami yaitu Mazhab Syafi’i, jika ia tidak mendapat pekerjaan maka ia halal menerima zakat karena ia orang lemah. [15]
Dalam al-Mau’suah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dikatakan bahwa jika seseorang yang sehat dan kuat mengklaim bahwa ia tidak mendapatkan pekerjaan maka boleh diberikan kepadanya zakat, ucapannya diterima walaupun tampa sumpah namun jika diketahui dengan pasti bahwa ia berbohong, maka tidak boleh diberikan kepadanya zakat, hal ini berdasarkan hadits berikut ini[16]:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ قَالَ أَخْبَرَنِي رَجُلَانِ أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَهُوَ يُقَسِّمُ الصَّدَقَةَ فَسَأَلَاهُ مِنْهَا فَرَفَعَ فِينَا الْبَصَرَ وَخَفَضَهُ فَرَآنَا جَلْدَيْنِ فَقَالَ إِنَّ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ

dari Ubaidillah bin Adi bin Al Khiyar berkata; telah telah mengabarkan kepadaku dua orang yang telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu haji wada’ sementara beliau sedang membagikan zakat, mereka berdua meminta kepada beliau sebagian dari zakat tersebut, lalu beliau mengangkat pandangannya kepada Kami lalu menundukkannya dan beliau melihat Kami adalah orang yang kuat, lalu beliau berkata: “Kalau kalian berdua menginginkannya maka Kami akan memberikan kepada kalian berdua, dan tidak ada bagian dalam zakat tersebut bagi orang yang kaya dan orang yang mampu untuk bekerja.” (HR. Abu Dawud)
Kelompok/ashnaf yang tidak boleh diberi zakat:
1)      Orang kafir kecuali yang dibujuk hatinya
2)      Keluarga Nabi saw.
3)      Maula Bani Hasyim
4)      Hamba sahaya (ulama ada juga yang membolehkan hamba sahaya yang bukan mukatab boleh mendapat zakat, pen )
5)      Orang kaya
6)      Perempuan fakir yang ada dibawah orang kaya yang menafkahinya
7)      Orang yang wajib dinafkahi, yaitu ayah, ibu kakek dan nenek. Kemudian anak dan cucu dan Istri
8)      Orang yang fasik yang membelanjakan hartanya untuk kefasikan dan kemaksiyatan
9)      Lembaga kebaikan/ yayasan sosial selain delapan ashnaf tersebut, seperti untuk membangun mesjid, dan memperbaiki jalan.[17]

 ditulis oleh Atep Hendang,  alumnus s2 ekonomi Islam UIKA Bogor (https://www.facebook.com/elhafidzelnuhah)

[1]Al-Syaukani, Fath al-Qadir, Beirut: Dar Ibn Katsir, Jil.2, 1414 H, hlm. 424
[2]Abul Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, Beirut: Dar Ibn ‘al-Arabi, 1407 H, Jil. 2, hlm. 282
[3]Abdurrahman bin Tamam bin ‘Atiyyah, al-Muharrar al-Wajiz, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1422 H, Jil. 3, hlm. 47
[4]Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H, Jil. 16, hlm. 80
[5]‘Abdurrahman al-Sa’di, Taisir al-Karim, Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000, hlm. 341
[6]Abu Bakar al-Jazair, Aisaru Tafasir, Madinah: Maktabah al-‘Ulum, 20023, Jil. 2, hlm. 385
[7]Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Kairo: Dar al-Shabuni, 1997, Jil. 1, hlm. 505
[8]Wijarah al-Auqaf al-Kuwait, al-Mau’suah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait: Dar al-salasil, Jil. 23, hlm. 333
[9]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, Jil. 3, hlm. 1952- 1953
[10]Wahbah za-Zuhaili, al-wajiz, Damaskus: Dar al-Fikr, Jil. 1, 1422 H, hlm. 878
[11]Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Manar, Jil. 10, Mesir: al-Haiah al-Mishriyyah, 1990, hlm. 435
[12] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid. 10, Mesir: Syarikah Maktabah, 1946, hlm. 145
[13]Hisamuddin bin Afan, Yasalunaka ‘aniz Zakat, Falestina: Laznah Zakat al-Quds, 2007, hlm. 125
[14]Hisamuddin, yasalunaka ‘aniz zakat, Palestina: Laznah Zakat al-Quds, 2007, hlm. 135-138
[15]Hisamuddin, yasalunaka ‘aniz zakat, Palestina: Laznah Zakat al-Quds, 2007, hlm. 122
[16]Wijarah al-Auqaf al-Kuwait, al-Mau’suah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait: Dar al-salasil, Jil. 23, hlm. 317
[17]Sa’id bin ‘Ali al-Qahthani, Masharif al-Zakat fi al-Islam, Riyadh: Matba’ah Safir, TT, hlm. 62